Pulau Hoga
Pulau Hoga ialah salah satu pulau di deretan kepulauan WAKATOBI wilayah Kabupaten Wakatobi, provinsi Sulawesi Tenggara , Indonesia, yang juga merupakan pulau wisata bawah bahari terindah di Dunia. Pulau ini terletak di timur Pulau Kaledupa.
Mendengar namanya, orang berpikir tiga hal itu ada kaitannya dengan Jepang. Padahal, ini perihal keindahan Indonesia di Sulawesi Tenggara.
Mendarat di Hoga, tampak bangunan-bangunan kayu yang sederhana namun kokoh. Sejumlah bule berseliweran di ruang makan berkapasitas 60-80 orang yang dipenuhi jadwal dan isyarat berbahasa Inggris. Suasana hiruk-pikuk dengan senda gurau dalam bahasa Inggris. Padahal, itu di kepulauan Wakatobi, di ujung tenggara Pulau Sulawesi yang dari Jakarta sanggup ditempuh dua hari.
Memang, orang absurd itu bukan sekadar turis. Mereka rata-rata mahasiswa dan profesor peneliti aktivitas Operation Wallacea (Opwall), forum ekspedisi riset dan konservasi yang berbasis di Inggris.
Memang, orang absurd itu bukan sekadar turis. Mereka rata-rata mahasiswa dan profesor peneliti aktivitas Operation Wallacea (Opwall), forum ekspedisi riset dan konservasi yang berbasis di Inggris.
Keindahan yang tak ternilai dari tempat ini ialah lokasinya yang terpencil, kata John Coop Direktur-Expedisi Logistik Opwall di Pulau Hoga.
Menurut John, mereka tiba pada ekspresi dominan liburan universitas di Eropa: Maret dan Juni-September. Tiap ekspresi dominan jumlah mahasiswa dan relawan mencapai 400 orang sementara profesor 8-10 orang.
Kepulauan Wakatobi memang menyimpan banyak keindahan. Dulu dikenal sebagai kepulauan Tukang Besi, terdiri dari kelompok empat pulau utama yang menjadi nama Wakatobi: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
Menurut John, mereka tiba pada ekspresi dominan liburan universitas di Eropa: Maret dan Juni-September. Tiap ekspresi dominan jumlah mahasiswa dan relawan mencapai 400 orang sementara profesor 8-10 orang.
Kepulauan Wakatobi memang menyimpan banyak keindahan. Dulu dikenal sebagai kepulauan Tukang Besi, terdiri dari kelompok empat pulau utama yang menjadi nama Wakatobi: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
Kawasan dengan luas 1.390.000 hektare yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar, jajaran atol dan laguna karang tersebut populer kepadatan habitat terumbu karang dan ikanya yang beragam. Paus dan lumba-lumba pun kerap sanggup ditemui di sekitar Wangi-Wangi.
Pencinta penyu sanggup meneliti di Pulau Runduma, sebelah utara Pulau Kaledupa. Di pulau yang sulit ditempuh sebab jalur pelayarannya rawan gelombang, penyu-penyu hijau (Chelonia mydas) selalu turun bertelur.
Pencinta penyu sanggup meneliti di Pulau Runduma, sebelah utara Pulau Kaledupa. Di pulau yang sulit ditempuh sebab jalur pelayarannya rawan gelombang, penyu-penyu hijau (Chelonia mydas) selalu turun bertelur.
Maka Opwall yang beroperasi semenjak 1995 menyiapkan kemudahan tak tanggung-tanggung. Di Pulau Hoga, Opwall menyewa satu bangunan rumah panggung milik Pemda Wakatobi dan difungsikan sebagai kantor, ruang kelas, area belajar, perpustakaan mini, ruang komputer, laboratorium basah, restoran, bar, dan klinik sumbangan pertama. Opwall juga berkerja sama dengan operator dan forum kursus menyelam PADI.
Banyaknya peneliti absurd menciptakan masyarakat di Wakatobi, juga Suku Bajo di Sampela, menduga pengunjung lokal yang berkulit kuning langsat pun sebagai orang asing.
Warga juga sangat terbiasa diwawancara. Bahkan sebagian mengaku bosan, letih. Para peneliti absurd itu kadang tidak tiba berkelompok tapi sendiri-sendiri. Lalu kami diminta berkumpul. Setiap orang sanggup pertanyaan panjang dan banyak. Sering kami jadi tidak melaut, keluh La Diy (42) warga Desa Sembano.
Buntutnya ketika mengetahui jadi obyek penelitian, mereka menjadi kritis dan mempertanyakan pengaruh pribadi penelitian bagi masyarakat.
Padahal, umumnya para peneliti absurd ini meneliti di Wakatobi untuk satu kurun waktu tertentu demi disertasi akademik mereka. Pada sisi ini masyarakat memang sekadar menjadi obyek penelitian. Namun di sisi lain, keberadaan Opwall telah membuka alternatif penghasilan dan lapangan pekerjaan gres buat masyarakat, khususnya di Hoga dan Kaledupa.
Di Hoga, ketika ini terdapat 200 homestay milik masyarakat yang pasokan tamunya sebagian besar dari Opwall. Transaksi penyewaan kapal untuk penyelaman, arus pesanan sayur-mayur, menjadi komplemen penghasilan di ekspresi dominan ramai penelitian. Opwall juga melibatkan 81 persen staf lokal sebagai pekerja operasional. Dampak tak pribadi lain ialah lancar berbahasa Inggris.
Banyaknya peneliti absurd menciptakan masyarakat di Wakatobi, juga Suku Bajo di Sampela, menduga pengunjung lokal yang berkulit kuning langsat pun sebagai orang asing.
Warga juga sangat terbiasa diwawancara. Bahkan sebagian mengaku bosan, letih. Para peneliti absurd itu kadang tidak tiba berkelompok tapi sendiri-sendiri. Lalu kami diminta berkumpul. Setiap orang sanggup pertanyaan panjang dan banyak. Sering kami jadi tidak melaut, keluh La Diy (42) warga Desa Sembano.
Buntutnya ketika mengetahui jadi obyek penelitian, mereka menjadi kritis dan mempertanyakan pengaruh pribadi penelitian bagi masyarakat.
Padahal, umumnya para peneliti absurd ini meneliti di Wakatobi untuk satu kurun waktu tertentu demi disertasi akademik mereka. Pada sisi ini masyarakat memang sekadar menjadi obyek penelitian. Namun di sisi lain, keberadaan Opwall telah membuka alternatif penghasilan dan lapangan pekerjaan gres buat masyarakat, khususnya di Hoga dan Kaledupa.
Di Hoga, ketika ini terdapat 200 homestay milik masyarakat yang pasokan tamunya sebagian besar dari Opwall. Transaksi penyewaan kapal untuk penyelaman, arus pesanan sayur-mayur, menjadi komplemen penghasilan di ekspresi dominan ramai penelitian. Opwall juga melibatkan 81 persen staf lokal sebagai pekerja operasional. Dampak tak pribadi lain ialah lancar berbahasa Inggris.
Kepulauan Wakatobi semenjak 31 Juli 1996 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 393/KTps-VI/1996 ditetapkan sebagai daerah Taman Nasional Laut dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. Dengan penetapan itu, tahun 1997 Wakatobi dibagi menjadi lima zona: Zona Inti (683.500 ha), Zona Pelindung (160.500 ha), Zona Pemanfaatan (70.000 ha), Zona Pemanfaatan Tradisional (300.500 ha), dan Zona Rehabilitasi (175.000 ha).
Pembagian ini penting mengingat taman bahari Wakatobi (1.390.000 ha) merupakan taman bahari kedua terbesar di Indonesia, sesudah Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih di Papua. Tingkat keragaman terumbu dan spesies ikan di Wakatobi juga termasuk berkepadatan tinggi, sama menyerupai di Taman Nasional Laut di Bunaken, Teluk Cendrawasih, dan Komodo.
Pembagian ini penting mengingat taman bahari Wakatobi (1.390.000 ha) merupakan taman bahari kedua terbesar di Indonesia, sesudah Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih di Papua. Tingkat keragaman terumbu dan spesies ikan di Wakatobi juga termasuk berkepadatan tinggi, sama menyerupai di Taman Nasional Laut di Bunaken, Teluk Cendrawasih, dan Komodo.
Berdasarkan kajian ekologi The Nature Conservation (TNC) Indonesia Marine Program dan WWF Indonesia Marine Program 2003, di Wakatobi terdapat 396 jenis karang watu penyusun terumbu karang dan 590 jenis ikan. Ini sebab ada Laguna Karang Kaledupa, laguna terluas dan terpanjang di Indonesia.
Di laguna karang ini komunitas karang yang tidak umum dan spesies ikan berada pada keragaman yang paling tinggi. Keindahan sanggup dinikmati di 27 titik lokasi penyelaman di mana terumbu karang secara umum dalam kondisi sehat.
Di laguna karang ini komunitas karang yang tidak umum dan spesies ikan berada pada keragaman yang paling tinggi. Keindahan sanggup dinikmati di 27 titik lokasi penyelaman di mana terumbu karang secara umum dalam kondisi sehat.
Tak heran jika Wakatobi dikenal sebagai salah satu lokasi cita-cita penyelaman. Namun, penyelam lokal biasanya jadi minder begitu penyelam absurd bercerita.
Begitulah. Para penyelam mancanegara rupanya lebih mengerti bahwa Indonesia mempunyai dunia bawah bahari yang amat indah.
Akses
bagi yang ingin kesana sanggup mencapai Pulau Hoga sanggup ditempuh lewat perjalanan bahari dengan beberapa alternatif, yaitu:
- Kendari ke Pulau Hoga via P. Wangi-Wangi (Wanci), dengan kapal kayu yang berangkat dari pelabuhan Kendari 2 kali seminggu. Waktu tempuh ± 15 jam.
- Kendari ke Bau-Bau (Buton) via Raha (Muna) dengan kapal cepat (± 4 jam) dilanjutkan dengan naik kapal ke Wanci dengan kapal kayu (± 3 jam) atau speed boat carteran (± 4 jam pribadi ke P. Hoga).
sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5275888
0 Response to "Pulau Hoga"
Post a Comment